Desain rumah belajar Ibnu Abbas - Depok
Ayunan dengan jari-jari ayun "super" |
"Hah !..," sahutku terkejut bukan kepalang.
Sekitar 5 tahun yang lalu aku dengar bahwa rumah itu dirobohkan. Ya, dirobohkan !. Rasanya aku ingin menangis mendengarnya. Rumah itu memang kalau dilihat secara kasat mata adalah rumah yang sangat sederhana. Bahkan sangat-sangat sederhana. Rumah yang memang pantas untuk di robohkan di zaman yang mengagung-agungkan dunia ini.Maka dengan dirobohkannya rumah itu, terbesit ide untuk mengangkatnya kepada ajang eksplorasiku di blog ini.
Kalau dilihat dari fisik desain rumah ini, maka akan malu seorang arsitek memamerkan karya yang demikian. Tapi untuk saya : tidak. Jiwa yang tersirat pada rumah inilah yang mendorong saya mengatakan tidak malu.
Maka kalau kita teliti lagi lebih dekat, maka terpancar darinya suatu kesederhanaan yang tertata rapi, sesuatu karya yang sarat pendidikan.Pendidikan ? Ya memang rumah itu kami juluki dengan "rumah belajar".Dengan konsep murni "fungsional" lah rumah itu lahir. Sampai-sampai kami sering beranekdot "kalau bisa begini kenapa harus begitu?".
Rumah saya desain atas permintaan seorang ustadz di bilangan Srengseng, Jakarta Selatan. Beliau diamanahi sebidang lahan yang sangat luas, dimana tanah tersebut dipinjamkan kepadanya untuk dimanfaatkan untuk kepentingan sosial khususnya untuk pendidikan.
Dengan konsep "fungsional" yang sangat kuat, maka rumah itu lahir.
Awalnya, kami lihat lahan tersebut akan kami pergunakan untuk tempat anak-anak didik belajar.Lho kok lahan untuk belajar. Ya, karena pada waktu itu institusi pendidikan Rumah Belajar Ibnu Abbas (nama institusi pendidikan tersebut) tidak mempunyai dana untuk pengadaan gedung tempat belajar anak-anak didik. Dan kalau kita lihat lahan tersebut banyak ditumbuhi pepohonan. Sehingga para pendidik di Rumah Belajar Ibnu Abbas rencana akan mengajar anak-anak didik di alam bebas di bawah pepohonan. Karena mereka berfikir bahwa pendidikan adalah lebih penting dari pada sekedar harus mengadakan gedung belajar yang bernilai sekitar puluhan bahkan ratusan juta rupiah.Uang darimana ? Nah, anekdot di atas maka berlaku "kalau masih bisa belajar di alam bebas kenapa harus di gedung ?" . Lha, kalau hujan bagaimana? hmm...Alhamdulillah di dekat lahan tersebut terdapat masjid wakaf yang dapat kami pergunakan sewaktu-waktu kalau-kalau hujan turun.
Setelah kami teliti lagi, ternyata di dalam lahan tersebut terdapat rumah kecil.Rumah sederhana yang dindingnya setinggi 1 meter terbuat dari tembok batu bata dan atasnya terbuat dari bahan triplek dan bambu anyaman. Rumah tersebut tidak ada yang tinggal di dalamnya. Kemudian timbullah ide. Ide yang sesuai dengan konsep Rumah Belajar Ibnu Abbas, yaitu memanfaatkan rumah tersebut untuk belajar.
Wal hasil, sang ustadz minta kepadaku untuk mulai memikirkan agar rumah tersebut bisa dimodifikasi sesuai konsep belajar Rumah Belajar Ibnu Abbas.
Sebetulnya apa konsep belajar Rumah Belajar Ibnu Abbas itu? Yang jelas, konsep Islami dengan pemahaman salafush sholeh menjadi konsep utama. Di sini saya tidak membahas panjang lebar tentang konsep Islami nya yang tentu bukan tempatnya untuk dibahas di sini. Tetapi saya akan membahas dari sudut pandang arsitektur dan hal-hal yang lebih aplikatif untuk anak-anak didik dalam mengamalkan ilmu yang didapat. Tentunya dikaitkan dengan desain fisik rumah belajar. Ayo kita mulai !
rumah belajar dilihat dari atas "landasan luncur" |
anak rumah belajar siap meluncur "asyik" |
"Ayo 'balapan' panjat tali !" |
Jaring pengaman permainan "gantung luncur" |
Jembatan tali melatih keseimbangan anak rumah belajar |
Selain itu di arena bermain terdapat pagar rintangan dari kayu yang anak didik bisa melewatinya dengan memanjatnya. Kemudian ada pula tali yang di ikat pada suatu pohon yang anak-anak bisa bergantung yang akan membawa pengalaman "gravitasi" tersendiri.
Tidak lupa tentunya ayunan yang bisa di naiki anak-anak.Tapi masya Allah, kalau kita lihat lebih dekat lagi ayunan ini tidak seperti ayunan anak-anak pada umumnya.Ayunan ini tali ayunnya puanjaaaaang sekali ! Apa akibatnya kalau tali ayun panjang ? Jari-jari ayun ayunan ini tentu besar sekali. Bahkan kalau kita ayunkan ayunan ini bisa mencapai ketinggian atap suatu rumah ! Subhanallah! Nah, kalau dipikir-pikir kok bisa ya? Lalu tali ayun tersebut terikat dimana ? Apakah pihak Rumah Belajar membuat tiang yang sangat tinggi untuk bergantung tali ayunan? Oh ternyata tidak.Justru ide ini timbul karena pada lahan tersebut terdapat pohon flamboyan yang sangat besar dengan dahan yang tumbuh mendatar pada ketinggian sekitar 6 meter. Nah, pada dahan inilah tali ayunan digantungkan.
anak rumah belajar mencoba kemampuannya melompat |
"Ali !...hati-hati gak bisa keluar lho !" |
Permainan ban bekas dilihat dari "landasan luncur" |
Baik, kita beranjak ke rumah belajar itu sendiri ...eits ! nanti dulu, monggo diisi komentarnya. Siapa tahu ada yang tidak setuju bahwa ini dianggap suatu karya arsitektur.
(bersambung)
Semoga Bermanfaat.
Terima Kasih, Salam Sukses untuk Anda !
Rachmadi Triatmojo
Pendiri dan Arsitek sketsarumah.com
http://www.sketsarumah.com
Mau tahu Studionya ?
Silahkan klik http://www.sketsarumah.com/p/studio.html
Atau mau tahu langsung hasil-hasil karyanya ?
Silahkan klik http://www.sketsarumah.com/p/karya.html
Silahkan klik http://www.sketsarumah.com/p/studio.html
Atau mau tahu langsung hasil-hasil karyanya ?
Silahkan klik http://www.sketsarumah.com/p/karya.html
19 komentar
Mohon maaf ini saya cuma test komen
Silahkan beri komen ...
"rumah belajar Ibnu Abbas",
bukan
Rumah Belajar "Ibnu Abbas"
Dan ini juga antum yang disain.
Kekuatan disain itu muncul dari kesederhanaan,
kebersahajaan, dan ketulusan.
Jazaakallahu khairan wa baraka fiik wa ahlik
wa iyyaka ... wa fika barakallahu
bener ... sudah ana rubah, tuh lihat di atas judulnya. Maklum sudah lama jadi lupa.
O iya ana ada rencana (ini baru rencana, tidak tahu bisa terealisasi apa tidak) buat "buku ketrampilan ramah lingkungan" untuk anak-anak.
Siapa tahu pondok-pondok, "keluarga-keluarga masa depan" butuh.
Allahu a'lam
Tentu saja itu bukan pekerjaan mudah di zaman di mana kesederhanaan sudah menjadi barang mewah, dan pemborosan dianggap lumrah.
Pertama-tama, tentu masyarakat perlu terus diberi pencerahan tentang apa itu "ramah lingkungan" dan urgensinya. Kedua,bentuk ketrampilan yang bagaimana yang diperlukan dan mengapa demikian.
Jelas, mereka dan kita membutuhkan itu. Soal merasa atau tidak, itu hanya masalah waktu.
Tuangkan dan sosialisasikan saja konsep antum lewat blog ini.
Selamat berjuang !!!
Baarakaallahu fiikuma.... wa ahlikuma.
ide sekolah alam (SA) dahulunya mirip dengan RBIA. SA juga masih mempertahankan beberapa hal terkait dengan alam, walaupun sudah ada beberapa yg pakai AC karena digunakan sebagai ruang komputer dan arsip.
lalu bagaimana ceritanya materialisme menggerus RBIA?
hmmm... sebenarnya saya melihat sesuatu yg lebih mengerikan lagi, suatu saat lokasi RBIA dan masjid wakaf itu akan berada di pinggir jalan tol, lalu kemanakah lagi suasana alam yang membuat kita nyaman untuk belajar dan beribadah?
Rasanya saya perlu juga ikut bicara soal "rumah belajar IBNU ABBAS".
Sekolah Alam (SA) sangat jauh dari mirip dengan RBIA. SA, bagaimanapun juga tetap saja sekolah yang disain bagunannya serta rancangan Landscape-nya "dibuat" sedemikian rupa sehingga terkesan alami. Ma'af, bagi saya SA tidak beda dengan "restoran Lembur Kuring", dia tetaplah sebuah restoran yang disain bangunan dan landscape-nya bernuansa "kampung", alami dalam pengertian yang artifisial.
RBIA dibangun di atas dasar falsafah yang sangat berbeda.
Dan kalau tidak salah Al Akh Rachmadi tidak pernah mengatakan bahwa RBIA telah digerus oleh materialisme.
Yang benar adalah bangunan tempat RBIA dibongkar, karena pemilik tanahnya memerlukan untuk kepentingan yang lain, dan itu hak mereka (kami merasa berterima kasih kepada mereka yang telah meminjamkan tanahnya selama itu kepada kami dan berdoa semoga ALLAH memberikan ganjaran atas kebaikan mereka)
Jadi, yang dibongkar atau di…
Untuk Bang Zainal, afwan bang sampai sekarang belum ketemu cara hapusnya. Sudah di utak atik terus belum ketemu. Nanti ya...sabar.
Sebetulnya juga gak terlalu masalah toh, antum sendiri sudah meralatnya. Dan sebagai catatan sejarah nyata "terlalu bersemangat komennya" antum.
Barokallahu fiik !
Untuk Mas Andi,
Jazaakallahu khoiron Mas Andi telah singgah di blog saya yang menjadi ajang eksplorasi saya sebagai seorang Arsitek muslim
Semoga ini dapat menjalin persahabatan di dunia maya.
O iya saya sudah berkunjung di http://pondokecil.wordpress.com/ Mas Andi.
Wah-wah rupanya Mas Andi nih sudah lama ngeblognya ya ..sudah dari tahun 2004 !
Barokallahu fiik !
Saya tergelitik dengan istilah "Restoran", sepertinya hanya selera duniawi dan suasananya saja yang ditawarkan oleh SA :)
btw, kesimpulan tentang "materialisme" saya dapatkan dari kalimat: "Rumah yang memang pantas untuk di robohkan di zaman yang mengagung-agungkan dunia ini."
afwan kalau salah menyimpulkan, jazakallah khairan atas pelurusannya.
Saya benar-benar salut, RBIA bahkan dapat hidup tanpa bangunan fisik, karena falsafahnya yang mengakar di hati mampu melampaui akhirat, bukan di sekadar di dunia.
Om Rachmadi, tadinya tulisan saya sejak 2004 itu nyebar di beberapa blog, tapi saya kumpulkan di blog yg sekarang dengan fasilitas yang dimungkinkan oleh wordpress mengimpor semua tulisan saya dari blog lain.
kalau dibaca dari awal, saya dapat …
untuk Ibnu Shalih ..jazaakallahu khoiron atas atensinya .... iya nih Insya Allah dalam waktu dekat saya lanjutkan ..lagi konsen 10 hari terakhir Romadhon nih ..dan mau mudik dulu.
Barokallahu fiikum
pada saat itu sayangnya diriku masih awam dalam mendisain, belum sedalam ini.. ruang bermain yang telah ada merupakan ruang bermain dengan beton yang tidak nyaman ketika jatuh dan menderita lecet kepada anak-anaknya..
beginilah ruang bermain seperti di atas seharusnya, aman, nyaman, dan tepat untuk mereka
Maju terus ARSITEK INDONESIA !